Asosiasi Pertekstilan Indonesia

Penolakan Pajak Karbon

Karbon merupakan salah satu indikator penting dalam industri bahan baku di Indonesia. Dalam hal ini pemerintah mengeluarkan kebijakan peraturan mengenai pajak karbon. Peraturan ini dituangkan dalam Undang Undang Harmonisasi Pengaturan Perpajakan (UU HPP) yang dibentuk sebagai ruang baru Indonesia menuju ekonomi hijau, yang salah satu bentuk konkret nya membahas mengenai pajak karbon. Pada pertengahan 2021 lalu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan statement mengenai kenaikan pajak karbon dan carbon trading yang menjadi ketentuan baru dalam Rancangan Undang – Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). Statement ini dibentuk dalam rangka masa pemulihan pandemi. Akan tetapi, statement tersebut menyebabkan penolakan dari berbagai pihak khususnya pelaku industri.

Hal ini akan menyebabkan semakin tertekannya industri yang berusaha bangkit dari masalah yang ditimbulkan oleh Covid 19. Para pelaku industri menyatakan keberatan karena apabila harga pajak karbon naik, maka biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk para pelaku industri akan semakin naik. Yang akan menyebabkan harga dipasaran naik dan pada akhirnya menyebabkan kurangnya minat konsumen karena kenaikan harga tersebut.

Oleh karena itu, Asosiasi Pertekstilan Indonesia Bersama beberapa asosiasi Industri lainnya mengajukan keberatan atas adanya RUU HPP terbaru yang diusulkan tersebut. Hal ini dikarenakan karbon merupakan salah satu bahan baku produksi yang dibutuhkan dalam industri tekstile. Apabila harga karbon naik, maka harga produksi akan semakin mahal sehingga harus menekan biaya produksi. Yang mengakibatkan harga textile di Indonesia mengalami kenaikan sehingga akan mengalami persaingan yang cukup sulit dengan para pelaku industri impor.

Menanggapi hal tersebut, pelaku industri tekstil hulu hingga hilir kompak menolak. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman menilai pengenaan pajak karbon tersebut kurang tepat jika dibebankan kepada industri dalam negeri. Hal ini akan berimbas pada daya saing industri tekstil terhadap gempuran produk impor. “Industri dalam negeri akan tersiksa. Biaya beban kerja akan naik seiring dengan pemberlakuan pajak karbon yang diterapkan oleh pemerintah. Pengaruh tersebut akan berimbas pada kenaikan harga produk tekstil sebesar 20 persen,” kata Rizal.

Dengan berbagai faktor keberatan tersebut, akhirnya pemerintah melakukan kebijakan peraturan untuk menurunkan harga pajak karbon yang semula di harga Rp.75/per kg Co2e menjadi Rp.30/Kg Co2e. Peraturan ini akan mulai berlaku secara bertahap pada tahun 2022.Penerapan pajak karbon akan mengedepankan prinsip keadilan dan keterjangkauan (affordable) dengan memperhatikan iklim berusaha dan masyarakat kecil. Pajak karbon akan dilakukan dengan mekanisme cap and tax di sektor karbon yang boleh dikeluarkan.